Konflik Komunikasi Dalam Penyuluhan Pertanian Di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan
Amalia Indah Alliza
17/411339/PN/15070
Judul
Jurnal
|
Konflik
Komunikasi Dalam Penyuluhan Pertanian Di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi
Selatan
|
Judul
|
Jurnal
Ilmu Komunikasi
|
Volume
|
Vol.
8 No. 1
|
Tahun
|
2017
|
Penulis
|
Kartika
Ekasari Z,M.Saleh S. Ali, Darmawan Salman, Akhsan dan A. Kasirang
|
Reviewer
|
Amalia
Indah Alliza
|
Tanggal
|
10
September 2018
|
Pendahuluan
Sejak
awal penyuluhan pertanian telah memberikan sumbangan pada pencapaian berbagai
program pembangunan, meskipun ada kesan dilaksanakan dengan pendekatan dari
atas ke bawah (top down) dengan dipaksa, terpaksa, dan terbiasa. Keberadaan
petani pada saat itu hanyalah sebagai objek pembangunan. Walaupun demikian,
dalam pelaksanaannya petani tetap melaksanakan apa yang diperintahkan, tekun
mengerjakan dan mengharapkan panen sesuai yang diharapkan. Kondisi semacam ini
menyebabkan ketergantungan petani kepada kebijakan pemerintah dan penyuluh
sangat tinggi. Pergeseran paradigma penyuluhan dari sistem transfer teknologi
menjadi penyuluhan partisipatif telah terjadi seiring dengan perkembangan model
dan sistem komunikasi persuasif-dialogis.
Seiring
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong lahirnya inovasi
atau temuan-temuan baru, termasuk di bidang pertanian. Sebagian dari temuan
teknologi itu telah didesiminasikan kepada masyarakat tani untuk meningkatkan
hasil usaha taninya. Menurut penulis, hanya sebagian dari teknologi yang
berkembang belum bahkan tidak diadopsi oleh petani, meskipun berbagai upaya
telah dilakukan untuk meyakinkan kemanfaatan teknologi tersebut bagi kebutuhan
peningkatan taraf hidup mereka. Penulis juga mengutarakan bahwa anggapan petani
terhadap pembangunan pertanian di pedesaan sudah tepat meskipun pada
kenyataannya tidak. Meskipun telah banyak program penyuluhan pertanian yang
telah diluncurkan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, mulai dengan pendekatan
top down hingga pendekatan bottom up seperti program Bimas (Bimbingan Massal) sampai pada
Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP) atau Farmer Empowerment Through Agricultural
Technology and Information (FEATI). Beberapa dari program penyuluhan
pertanian ini masih berjalan sampai sekarang ini. Salah satu daerah di Sulawesi
Selatan yang penyelenggaraan penyuluhan pertaniannya cukup berkembang adalah
Kabupaten Maros.
Menurut penulis adanya program ini bertujuan
untuk membantu petani dalam meningkatkan usaha tani mereka dengan metode
pendekatan bahkan hingga ikut serta membantu di lapangan dengan melibatkan
pelaku yang beragam. Namun, menimbulkan kompleksitas di dalamnya, antara lain
kompleksitas program, pelaku, dan kompleksitas interaksi antarpelaku yang
terlibat dalam kegiatan penyuluhan pertanian, dan tidak terkoordinasi dengan
baik sehingga menyebabkan terjadinya disharmoni yang berpotensi konflik.
Walaupun pada dasarnya, konflik selalu ada dalam berbagai bentuk kehidupan
manusia. Konflik fungsional dalam kehidupan bermasyarakat dan ketidakharmonisan
yang terjadi diantara pelaku yang terlibat dalam penyelenggaraan kegiatan
penyuluhan pertanian, salah satunya disebabkan adanya pemahaman yang berbeda
diantara mereka. Apabila pemaknaan terhadap simbol-simbol berbeda diantara
pelaku komunikasi, akan menimbulkan distorsi dan mempengaruhi tindakan yang
mengakibatkan terjadinya hubungan disharmoni antarpelaku. Hubungan disharmoni
yang terjadi akibat ketidaksepahaman komunikasi berpotensi menimbulkan konflik
dalam komunikasi
Bentuk
dan sumber konflik komunikasi pada proses sosial antarpelaku penyelenggaraan
penyuluhan pertanian di Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Maros, sampai
saat ini belum pernah diteliti secara komprehensif (menyeluruh). Inilah yang
mendorong penulis untuk melakukan penelitian potensi konflik komunikasi
penyuluhan pertanian untuk lebih memahami karakteristik pelaku penyuluhan yang
berdaya guna dan berhasil guna di masa yang akan datang.
Metodologi
Pada
penelitian ini penulis melakukan pendekatan penelitian dengan cara penelitian kualitatif (qualitatif research)
yang bertujuan mengungkapkan proses dan interpretasi makna dan mengarah pada
pengungkapan keadaan atau perilaku individu yang terobsesi secara holistic. Metode
yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode studi kasus yang
sifatnya perbandingan (Comparative-case Studies). Dalam penelitian ini data
yang dikumpulkan berasal dari hasil wawancara dengan informan. Informan adalah
orang (pelaku) yang dipandang banyak mengetahui tentang pelaksanaan program
penyuluhan pertanian di Kabupaten Maros, baik program penyuluhan pertanian yang
berbasis rekayasa sosial maupun yang berbasis pembelajaran sosial. Penulis melakukan
wawancara dengan berbagai aparat pemerintah seperti Badan Ketahanan Pangan
Daerah, Badan Koordinasi Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian Tingkat Provinsi,
balai balai desa, kantor kecamatan, dan pengusaha tani (pihak swasta). Kemudian
penulis juga melakukan wawancara dengan pihak peneliti dan penyuluh, petani
baik individu maupun kelompok.
Hasil dan Pembahasan
Kabupaten
Maros adalah salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang terletak di bagian
barat Sulawesi Selatan yang secara administratif wilayah pemerintahannya
terbagi menjadi 14 kecamatan dan 103 desa/kelurahan, dengan jumlah penduduk
sebesar 301.696 jiwa, terdiri dari 148.223 jiwa (49,13 persen) penduduk lakilaki
dan 153.473 jiwa (50,87 persen) penduduk perempuan (BPS, Kabupaten Maros 2010).
Luas lahan pertanian di Kabupaten Maros sebanyak 25.831,00 Hektar yang sebagian
besar ditanami tanaman padi. Kabupaten Maros adalah salah satu daerah penghasil
tanaman pangan dan dikenal dengan predikat lumbung padi di Propinsi Sulawesi
Selatan.
Dalam
penyelenggaraan penyuluhan pertanian, pemerintah dengan sadar melakukan
perubahan dalam penanganan masalah petani dan keluarganya. Salah satu bentuk
perhatian terhadap mereka adalah dengan melakukan perbaikan sistem penyuluhan
pertanian. Di kabupaten Maros, menurut Data Badan Penyuluhan Pertanian,
Kehutanan, dan Ketahanan Pangan Kabupaten Maros (2007), tercatat bahwa jumlah
kelompok tani di daerah ini sebanyak 681 kelompok dengan klasifikasi kelas
pemula 303 kelompok, kelas lanjut 287 kelompok, kelas madya 63 kelompok, kelas
utama 1 kelompok, wanita tani 26 kelompok, dan taruna tani 1 kelompok.
Dalam
proses penyelengaraan penyuluhan pertanian berbasis rekayasa sosial dan
berbasis pembelajaran sosial melakukan interaksi untuk mencapai tujuan bersama.
Dari hasil wawancara yang didapatkan oleh penulis sesungguhnya kerjasama yang
terbentuk diantara petani yakni dikarenakan keinginan mereka berusaha saling
belajar dan memahami diantara mereka. Kuatnya hubungan diantara mereka, didukung
oleh kenyataan sosiologis seperti hubungan keluarga, pertetanggaan, kedekatan
lahan, dan kesamaan pekerjaan. Selain itu, bentuk kerjasama yang dilakukan oleh
pelaku dalam penyelenggaraan kegiatan penyuluhan pertanian karena kepedulian
dan kesamaan tujuan serta kepentingan, yang pada akhirnya menguatkan kelompok
dan memperluas jaringan kerjasama di antara mereka. Apabila terjadi persaingan
dan konflik, akomodasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian bagi
pihak-pihak yang berkonflik.
Cooley
(1930) dalam Bungin (2007) menyatakan bahwa, kerjasama timbul apabila orang
menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama dan pada saat yang
bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri
untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut. Kesadaran adanya kepentingan
yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama
yang berguna. Terbukti dari hasil wawancara yang diapatkan oleh penulis dari
salah satu narasumbernya yakni petani yang mengatakan bahwa mereka saling
tolong menolong dalam proses penanaman hingga panen dan berusaha bersama-sama
untuk menemukan solusi apabila ada permasalahan terjadi di antara salah satu
dari mereka. Hubungan saling tergantung satu sama lain inilah yang dapat
melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing- masing komponen organisasi
memiliki kepentingan atau tujuan sendiri- sendiri dan tidak bekerja sama satu
sama lain. Dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian berbasis pembelajaran
sosial, persaingan dan konflik yang terjadi justru lebih banyak bersifat
positif, dalam artian bahwa persaingan dan konflik ini dapat meningkatkan solidaritas
diantara mereka dan lebih meningkatkan motivasi untuk maju bagi kedua belah
pihak yang bersaing.
Pada
pendekatan penyuluhan pertanian yang berbasis pembelajaran sosial, pola
komunikasi yang terjadi dua arah, dan setiap pelaku dapat bertindak sebagai
sumber dan penerima informasi. Petani bukanlah satu-satunya pelaku yang harus
menerima apapun informasi yang diberikan oleh penyuluh. Terkadang, petani
dijadikan sebagai sumber informasi oleh pelaku lainnya berdasarkan pengalaman
yang dimilikinya. Model pembelajaran berdasarkan pengalaman dari petani ke
petani yang diperoleh melalui proses peniruan yang dilakukan dalam pendekatan
penyuluhan berbasis pembelajaran sosial dinilai efektif jika melihat kondisi
pengetahuan yang dimiliki aparat penyuluh sekarang ini. Terkadang masih
dijumpai penyuluh yang hanya memiliki setengah dari pengetahuan yang diperlukan
oleh petani untuk mengambil keputusan, dan setengahnya lagi bisa berasal dari
petani dan keluarganya sendiri.
Pengetahuan
yang dimiliki petani dengan PPL perlu disatukan untuk mengembangkan sistem
usahatani yang paling produktif bagi petani dan keluarganya. Hal ini bisa
dilakukan hanya melalui dialog di mana PPL mendengarkan petani serta tidak
berusaha untuk meyakinkan mereka tentang bagaimana mereka seharusnya
mengembangkan sistem usahatani mereka. Petani dapat dijadikan sebagai sumber
informasi bagi pemerintah, peneliti, dan PPL. Dari dampak yang biasanya
ditimbulkan dari komunikasi yang dilakukan ini adalah petani menjadi
termotivasi untuk melaksanakannya.
Sumber
Konflik Komunikasi dan Fungsi Dalam Penyuluhan Pertanian baik yang berbasis
pembelajaran sosial maupun berbasis rekayasa sosial dapat dipandang dari sisi
positif maupun sisi negatif, tergantung dari bagaimana setiap pelaku memandang
dan mengelola konflik tersebut. Proses-proses konflik sering pula mempunyai
akibat-akibat yang positif. Peristiwa yang memperlihatkan bagaimana sebuah
konflik sosial yang terjadi antara petani sebagai salah satu akibat dari adanya
kekurangpuasan beberapa petani kepada PPL yaitu dengan cara tidak maunya mereka
mengikuti kegiatan dan pertemuan kelompok dan lebih memilih memisahkan diri
dengan kelompoknya, dan secara tidak langsung membentuk kelompok kecil yang di
dalamnya bergabung petani-petani yang merasa diri kurang diperhatikan oleh
pemerintah dan selalu berusaha mencari sendiri informasi dan pengetahuan yang
berguna untuk perkembangan usahataninya.
Bentuk
konflik lainnya yang ditimbulkan sebagai akibat dari adanya kecemburuan di
antara pelaku-pelaku penyuluhan pertanian ini berdampak pada adanya
pengelompokan-pengelompokan di antara anggota kelompok itu sendiri dan
keaktifan mereka dalam kelompok. Anggota kelompok yang lahan atau rumahnya
saling berdekatan biasanya dalam sehariannya selalu terlibat dalam proses
sosial dan komunikasi dengan sesamanya, begitupula dengan anggota kelompok yang
dekat dengan ketua dan pengurus kelompoknya kelihatannya membentuk kelompok
sendiri. Sikap dan tingkah laku yang ditunjukkan oleh beberapa orang petani ini
memperlihatkan bahwa sesungguhnya diantara pelaku yang berinteraksi ini sudah
terlihat benih-benih konflik, tapi umumnya masih di permukaan dan terjadi hanya
karena kesalahpahaman sehingga dengan adanya konflik akan membuat kelompok
menjadi semakin kuat.
Konflik
yang terjadi pada Kelompok Tani Bonto Rea I baik itu antara anggota dengan
anggota, anggota dengan pengurus, pengurus dengan pengurus kelompok tani,
bahkan antara kelompok tani dengan lembaga di luar kelompoknya pada dasarnya
karena adanya pemahaman yang berbeda diantara pelaku-pelaku dalam kegiatan
penyuluhan dan masih berada di permukaan. Hal ini dapat dilihat dari tidak
adanya konflik yang berujung pada terjadinya perpecahan diantara mereka. Berbeda
halnya yang terjadi pada Kelompok Tani Tunas Jaya, konflik yang terjadi karena
adanya perbedaan tujuan dan kepentingan serta tidak ada usaha untuk meredakan
konflik tersebut, sehingga konflik mengakibatkan terjadinya pertengkaran dan
permusuhan diantara pihak yang berkonflik dan pada akhirnya mematikan kelompok.
Simpulan
Pada
bagian simpulan penulis dapat membuktikan jika penyuluhan pertanian dengan penerapan
sistem penyuluhan pertanian yang berbasis pembelajaran sosial telah terlihat
hasilnya, khususnya dalam memupuk kemandirian petani. konflik secara internal
maupun eksternal umumnya terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dan
perbedaan pemahaman diantara pelaku-pelaku yang terlibat dalam kegiatan
tersebut. Konflik yang terjadi pada penyelenggaraan penyuluhan pertanian
berbasis rekayasa social umumnya bersifat laten (tersembunyi) dan lambat laun
akan meledak dan menghambat penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Dalam
penyelenggaraan penyuluhan pertanian berbasis pembelajaran social, umumnya
konflik yang terjadi bersifat di permukaan, dan jika terjadi konflik maka
akomodasi merupakan salah satu cara untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu,
sistem penyuluhan pertanian di masa depan hendaknya berbasis pada pembelajaran
sosial dan bukan hanya dalam bingkai keproyekan.
yang review manis wkwkwk
BalasHapusKartika Sari
BalasHapus17/409646/PN/15034
Saya ingin mengomentari artikel ini mengenai nilai-nilai penyuluhan yang terdapat pada artikel ini. Menurut saya:
1. Adanya sumber teknologi atau ide pada artikel ini ditunjukkan dengan adanya kalimat seperti program Bimas (Bimbingan Massal) sampai pada Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP) atau Farmer Empowerment Through Agricultural Technology and Information (FEATI). Beberapa dari program penyuluhan pertanian ini masih berjalan sampai sekarang. Hal ini dapat dikatakan adanya ide untuk terus memberdayakan petani.
2. Adanya sasaran yang dimaksud adalah sasaran langsung yang diberi ide atau gagasan Baru adalah petani baik individu maupun kelompok. Sedangkan sasaran tidak langsungnya adalah pihak peneliti dan penyuluh.
3. Manfaat adanya kegiatan Bimas hingga P3TIP pada artikel tersebut terhadap petani adalah untuk membantu petani dalam meningkatkan usaha tani mereka dengan metode pendekatan bahkan hingga ikut serta membantu di lapangan dengan melibatkan pelaku yang beragam.
4. Nilai pendidikan yang terkandung adalah penyuluhan pertanian dengan penerapan sistem penyuluhan pertanian yang berbasis pembelajaran sosial telah terlihat hasilnya, khususnya dalam memupuk kemandirian petani. Dengan memberikan pembelajaran sosial yang kemudian dilakukan petani membuat kemajuan yang lebih baik dengan adanya pendidikan.
Menurut pendapat saya, pada artikel tersebut juga terdapat nilai-nilai berita yang terkandung di dalamnya, antara lain:
1. Konflik (Conflict) yang terdapat pada artikel ini adalah Apabila terjadi persaingan dan konflik, akomodasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian bagi pihak-pihak yang berkonflik. Dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian berbasis pembelajaran sosial, persaingan dan konflik yang terjadi justru lebih banyak bersifat positif, dalam artian bahwa persaingan dan konflik ini dapat meningkatkan solidaritas di antara mereka dan lebih meningkatkan motivasi untuk maju bagi kedua belah pihak yang bersaing. Konflik memiliki nilai berita yang tinggi karena konflik adalah bagian dalam kehidupan.
2. Pembangunan (development) merupakan nilai berita yang menyangkut tentang keberhasilan maupun kegagalan pembangunan yang memiliki daya tarik sendiri. Pada artikel ini dapat ditunjukkan Pengetahuan yang dimiliki petani dengan PPL perlu di satukan untuk mengembangkan sistem usaha tani yang paling produktif bagi petani dan keluarganya. Adanya pengembangan sistem diharapkan dapat membangun petani menjadi lebih baik lagi.
3. Menurut saya nilai berita pada artikel ini juga mencakup proximitly yang mana tulisan ini dekat dengan petani karena isinya yang berkaitan dengan kehidupan mereka kan konflik-konflik yang ada di sekitar mereka.