FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KINERJA USAHATANI PETANI SEBAGAI REPRESENTASI STRATEGI PENYULUHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI LAHAN MARJINAL


Nama   : Dinda Fahira
NIM    : 17/409618/PN/15006

 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KINERJA USAHATANI PETANI SEBAGAI REPRESENTASI STRATEGI PENYULUHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI LAHAN MARJINAL
Juranl               : Jurnal Agro Ekonomi
Volume           : Vol. 31 No. 1
Tahun              : 2013
Penulis             : Kurnia Suci Indraningsih
Reviewer         : Dinda Fahira
Tanggal           : 10 September 2018

A.    Pendahuluan
Lahan marjinal di pedesaan sudah banyak mengalami perbaikan invoasi pada bidang teknologi dan sudah banyak dipromosikan, namun sampai sekarang masih ada petani yang kurang menerima mengenai inovasi teknologi. Dengan demikian perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi sikap para petani. Model penyuluhan yang tepat dan sesuai kebutuhan petani dapat membuat minat petani terhadap penyuluhan yang diberikan semakin meningkat dan dapat dengan mudah diterapkan.
Untuk dapat memberikan penyuluhan yang tepat sasaran kepada para petani, ada baiknya para penyuluh memahami terlebih dahulu tujuan petani dalam mengelola usahatani antara lain: (1) mencukupi kebutuhan pangan sepanjang tahun, (2) memenuhi kebutuhan dasar lainnya, seperti sandang, papan dan kesehatan, (3) mampu memenuhi biaya pendidikan anak-anaknya, (4) mampu menabung untuk jaminan hidup dan investasi, dan (5) dapat diterima masyarakat serta memperoleh penghargaan diri dan reputasi (FAO, 1990).
Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kinerja usahatani petani dan (2) merumuskan strategi penyuluhan pertanian dalam mendukung peningkatan kinerja usahatani petani di lahan kering marjinal. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk bahan pertimbangan kepada instansi pemerintah yang memiliki mandat dalam merancang kebijakan pertanian bagi masyarakat petani lahan kering, dan instansi pemerintah yang memiliki tugas pokok dan fungsi dalam melaksanakan penyuluhan.

B.     Metedologi
Lahan marjinal sangat berpotensi untuk dikembangkan dan memajukan lahan pertanian. Dengan diciptakannya inovasi teknologi pertanian yang sesuai dengan kebutuhan petani dan adaptif terhadap lingkungan biofisik, sosial budaya serta kapasitas petani, mempunyai perspektif untuk meningkatkan pendapatan petani. Inovasi dapat berasal dari luar sistem sosial, namun perlu digali potensi sumber daya yang ada dalam sistem sosial setempat. Dalam penelitian ini, inovasi yang diteliti adalah teknologi usahatani terpadu. Pemaknaan terpadu adalah pemanfaatan sumber daya yang ada (sesuai potensi) yang disinergikan antar komponen, sehingga menghasilkan output yang tinggi.
Menurut Gupta et al. (2012) sistem usahatani terpadu dapat mengatasi kendala dari aspek ekonomi dan ekologis, seperti: (1) mengurangi erosi; (2) meningkatkan hasil panen, aktivitas biologis tanah, dan daur ulang nutrien; (3) mengintensifkan penggunaan lahan, meningkatkan keuntungan; dan (4) membantu mengurangi kemiskinan dan malnutrisi. Produk limbah dari satu komponen berfungsi sebagai sumber daya untuk lainnya, sehingga meminimalkan dampak negatif dari pertanian intensif dan melestarikan lingkungan.
Dari lima tahapan dalam proses keputusan inovasi, yakni tahap pengetahuan, persuasi, keputusan, implementasi, dan konfirmasi (Rogers, 2003), pada penelitian ini hanya dibatasi pada satu tahap saja, yakni tahap keputusan inovasi, untuk menghindari data yang tidak valid dan tidak reliabel. Hal ini mengingat setiap tahapan dalam proses keputusan inovasi memerlukan durasi waktu yang tidak sama, dan untuk menggali informasi pada setiap tahapan yang telah terlewati memerlukan waktu yang lama, karena penelitian tidak dilakukan pada tahap awal (pengenalan). Selain itu, dalam penelitian ini keputusan (Y1) adopsi inovasi antara dua lokasi penelitian ditetapkan pada tahun yang berbeda, yakni Kabupaten Cianjur pada tahun 2007 dan Kabupaten Garut pada tahun 2005. Keseluruhan proses ini diduga berpengaruh terhadap kinerja usahatani (Y2) di tingkat petani. Hipotesis penelitian yang diajukan adalah keputusan petani dalam mengadopsi inovasi berpengaruh nyata pada kinerja usahatani.
Pendekatan penelitian dilakukan menggunakan metode survei yang bersifat eseplanotory, yakni menjelaskan gejala perilaku petani yang terjadi dalam tahapan proses keputusan inovasi. Unit analisis dalam penelitian ini adalah petani sebagai responden penelitian. Populasi penelitian ini adalah petani yang berada di kedua desa penelitian (Desa Talaga, Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur dan Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut). Penentuan jumlah sampel petani menggunakan rumus Slovin (Sevilla et al., 1993) dengan jumlah sampel sebanyak 302 petani responden. Fakta di lapangan yang dimaksud dengan petani adopter ialah petani kooperator Prima Tani. Petani yang tidak masuk dalam anggota kelompok tani dan tidak ikut serta dalam program usahatani terpadu disebut petani nonadopter (petani nonkooperator Prima Tani). Inovasi teknologi yang diintroduksikan kepada petani di dua kabupaten tersebut adalah inovasi Prima Tani berupa: inovasi teknologi dan inovasi kelembagaan.
Tabel 1. Hasil Uji Kesahihan dan Keterandalan Instrumen Penelitian dengan Teknik Belah Dua No.
Peubah
Kisaran nilai koefisien
Keterandalan
(1)
Perilaku komunikasi petani (X2)
0,444 – 0,775*
0,9035
(2)
Dukungan iklim usaha (X3)
0,449 – 0,859**
0,8980
(3)
Persepsi petani terhadap penyuluhan (X4)
0,407 – 0,853*
0,8877
(4)
Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi (X5)
0,419 – 0,878*
0,8981
(5)
Pengaruh media/informasi (X6)
0,369 – 0,710*
0,7760

C.    Pembahasan
Hasil analisis regresi menunjukkan keputusan petani dalam adopsi inovasi berpengaruh nyata positif terhadap kinerja usahatani. Hasil ini sesuai dengan hipotesis penelitian bahwa keputusan petani dalam mengadopsi inovasi berpengaruh nyata pada kinerja usahatani, berarti hipotesis tersebut diterima. Hal ini menunjukkan bahwa sistem usahatani terpadu dengan pemilihan komoditas yang sesuai disertai pengelolaan tanah dan air yang tepat berasaskan konservasi, merupakan pendekatan terbaik untuk melestarikan bahkan meningkatkan produktivitas lahan marjinal.
Menurut FAO (1990) karakteristik usahatani yang kurang berkembang, dicirikan antara lain: (1) usahatani dikelola pada tingkat subsisten dan semi subsisten, hanya sebagian yang sudah komersial; (2) sumber daya (seperti lahan, tenaga kerja, modal, dan tabungan) digabung untuk memproduksi output dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar petani; (3) kualitas sumber daya pertanian yang rendah menyebabkan output dan pendapatan yang dihasilkan juga rendah; (4) tanaman pangan untuk konsumsi keluarga, kalau berlebih dijual; (5) ternak seperti ayam, itik, dan kelinci dipelihara untuk konsumsi keluarga, kalau surplus baru dijual; (6) ternak seperti sapi, kerbau, domba, dan kambing dipelihara untuk sumber tenaga kerja, susu, kulit, tabungan, dan sebagainya; (7) masalah yang berhubungan dengan air minum memerlukan input tenaga kerja yang cukup besar; (8) untuk memperoleh material bangunan memerlukan tenaga kerja yang khusus; (9) sebagian besar jasa-jasa penunjang untuk masyarakat tidak ada atau tidak berfungsi; (10) fasilitas transportasi yang tidak memadai, menghambat petani dalam memasarkan produknya.
Kinerja usahatani terpadu dalam pengembangannya masih menghadapi berbagai kendala, terutama masalah permodalan usahatani dan pemasaran produk yang dihasilkan petani adopter (khususnya di Desa Jatiwangi Garut). Keberlanjutan kegiatan diseminasi teknologi usahatani terpadu yang dilakukan penyuluh pertanian PNS dari Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) perlu disanksikan karena program telah berakhir. Di lapangan, kegiatan penyuluhan berorientasi pada program/proyek. Di lain pihak petani dalam mengadopsi teknologi usahatani terpadu juga tergantung pada bantuan sarana produksi dan kredit modal usaha dari pemerintah.
Keadaan ini perlu ada upaya perbaikan, agar teknologi yang diperkenalkan tidak berhenti diadopsi petani setelah proyek selesai. Kerjasama antara BPTP Jawa Barat dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur dan Garut tidak hanya di awal program, namun perlu dilanjutkan hingga program berakhir. Paling tidak tenaga detasir (penyuluh pertanian PNS dari BPTP) yang selama program berjalan mendampingi petani, digantikan posisinya oleh penyuluh pertanian PNS dari BPP begitu tenaga detasir tidak lagi bertugas. Sikap mental ketergantungan petani terhadap bantuan pemerintah perlu diubah, lebih mengarah pada upaya pemberdayaan petani dengan menggali potensi yang ada. Langkah operasional yang dapat dilakukan di lapangan adalah mensinergikan antara program pemerintah daerah dengan inovasi teknologi, sehingga terwujud strategi penyuluhan berkelanjutan.
Berbagai upaya tersebut hendaknya bermuara pada keberpihakan kepada masyarakat petani, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Karena kinerja penyuluh pertanian PNS yang selama ini belum menunjukkan manfaat yang nyata dalam peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, perlu didorong agar menghasilkan kinerja yang optimal. Asas keseimbangan kegiatan penyuluhan, yang memperhatikan keseimbangan antara kebijakan, inovasi teknologi dengan kearifan masyarakat setempat, keseimbangan pemanfaatan sumber daya dan kelestarian lingkungan, serta keseimbangan antar kawasan yang maju (lahan sawah) dengan kawasan yang relatif tertinggal (lahan kering marjinal), perlu dukungan kebijakan pemerintah (pusat dan daerah) agar dapat terlaksana dengan baik, terutama yang terkait dengan anggaran. Institusi pusat yang bertanggung jawab melakukan koordinasi adalah Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, dan di daerah untuk implementasi tingkat provinsi adalah Badan Koordinasi Penyuluhan, sedangkan tingkat kabupaten adalah Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.
Sampai saat ini penyuluhan pertanian masih dipersepsikan sebagai alat pemerintah untuk pencapaian target produksi secara nasional dengan pendekatan yang bersifat top-down dan sentralistik. Kritikan terhadap pendekatan ini telah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan. Para petani dinilai tidak mendapatkan cukup insentif dan termotivasi melaksanakan pencapaian target produksi yang direncanakan pemerintah (Slamet, 2008). Sebagai respon terhadap kritikan tersebut pada akhir 2005 Menteri Pertanian mencanangkan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian (RPP). Pencanangan RPP dimaksudkan sebagai upaya mendudukkan, memerankan, dan memfungsikan serta menata kembali penyuluhan pertanian agar terwujud kesatuan pengertian, kesatuan korp dan kesatuan arah kebijakan. Sebagai tindak lanjut RPP, pada tahun 2006 pemerintah memberlakukan UU No.16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.
Penyuluhan seyogyanya dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif melalui mekanisme kerja dan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan pelaku usaha. Berdasarkan UU No.16/2006 tersebut telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2009 (PP No.43/2009) tentang Pembiayaan, Pembinaan, dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Mengingat berbagai kendala yang dijumpai di lapangan implementasi dari PP No.43/2009 ini belum sesuai dengan rencana.
Hasil pengamatan empiris di lapangan menunjukkan bahwa penyuluh PNS (dari BPTP) yang bertugas sebagai tenaga pendamping berakhir pada saat program atau proyek kegiatan usahatani terpadu juga berakhir. Tidak ada tindak lanjut tenaga pendampingan penyuluh PNS (dari BPP), sehingga upaya memperkenalkan teknologi usahatani terpadu yang mulai dirintis selama 2-4 tahun (Cianjur 2007-2009 dan Garut 2005-2009) seperti berhenti di akhir program. Dukungan instansi lain, seperti Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian, Dinas Peternakan dan pemerintah daerah setempat di awal program juga ikut terhenti. Padahal beberapa petani yang telah menerapkan teknologi usahatani terpadu tergolong rentan terhadap kondisi internal (dari diri petani) dan eksternal (lingkungan) yang akan kembali pada keadaan awal sebelum mengenal teknologi usahatani terpadu. Mengingat proses adopsi untuk sampai pada tahap konfirmasi butuh waktu yang relatif lama, karena memerlukan perubahan perilaku petani, dan perlu dukungan penguatan dari pihak lain, terutama penyuluh pertanian. Untuk itu pemikiran tentang penyuluhan pertanian berkelanjutan dipandang sebagai langkah yang dapat ditempuh agar usahatani terpadu terus diterapkan petani.

D.    Penutup
Keputusan petani dalam berusahatani ditentukan oleh keunggulan ekonomi komoditas, penggunaan sumber daya lahan dan tenaga kerja. Keunggulan komoditas yang didukung dengan ketersediaan input (sarana produksi) dan keterjangkauan daya beli petani terhadap input memengaruhi kinerja usahatani yang dikelola petani. Strategi penyuluhan pertanian berkelanjutan merupakan alternatif untuk mengatasi masalah kelambatan adopsi inovasi teknologi di tingkat petani. Rumusan strategi ini perlu didasarkan pada karakteristik dan perilaku komunikasi khalayak sasaran (petani), dukungan iklim usaha dan dukungan kebijakan pemerintah (pusat dan daerah). Aspek ketenagaan, kelembagaan, dan penyelenggaraan penyuluhan perlu menjadi fokus kegiatan penyuluhan pertanian yang berorientasi pada kebutuhan petani. Secara operasional perlu dukungan kebijakan pemerintah (pusat dan daerah) agar dapat terlaksana dengan baik, terutama yang terkait dengan anggaran. Dalam hal ini institusi pusat yang bertanggung jawab melakukan koordinasi adalah Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, dan di daerah untuk implementasi tingkat provinsi adalah Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh), sedangkan tingkat kabupaten adalah Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K).
Perubahan perilaku yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap membutuhkan waktu yang relatif lama, sehingga penyuluhan pertanian yang berkelanjutan penting sekali dilaksanakan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dengan memperhatikan: (a) program-program pusat yang menjadi target Kementerian Pertanian dengan kebutuhan petani; (b) materi penyuluhan tidak didominasi pada teknologi budidaya, namun perlu memperhatikan aspek lain, yakni meningkatkan nilai tambah dan dayasaing komoditas pertanian, sehingga menarik tenaga kerja muda untuk bekerja di sektor pertanian; (c) kelembagaan penyuluhan pertanian yang telah dilegalkan oleh Peraturan Daerah, sehingga memperoleh anggaran APBD untuk kegiatan penyuluhan.
Strategi penyuluhan pertanian berkelanjutan perlu dimulai terlebih dahulu dengan menyetarakan posisi dan kedudukan antara penyuluh BPTP dengan penyuluh BPP, sehingga terbina kebersamaan dan menumbuhkan rasa memiliki program inovasi teknologi oleh penyuluh BPP, serta keberlanjutan program (setelah BPTP selesai) dapat diteruskan oleh penyuluh BPP.

Komentar

  1. Nama : Ganggawa Shae Muh
    NIM : 17/409591/PN/14979

    Berikut adalah komentar saya mengenai beberapa nilai penyuluhan dan nilai berita pada artikel saudari Dinda.

    Nilai Penyuluhan :
    • Sumber Teknologi : Diciptakannya inovasi teknologi pertanian yang sesuai dengan kebutuhan petani dan adaptif terhadap lingkungan dan sosial budaya petani serta bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani. Yang mana inovasi yang dimaksud adalah Sistem Usahatani Terpadu pada lahan marjinal.
    • Sasaran : Sasaran yang ada adalah sasaran langsung, yang mana ditujukan kepada para petani yang melakukan usahatani.
    • Manfaat : Manfaat dari dikembangkannya usaha tani adalah meningkatkan hasil panen, mencegah / mengurangi erosi serta intensifikasi penggunaan lahan pertanian.
    • Nilai Pendidikan : Keputusan petani untuk mengadopsi inovasi sistem usahatani terpadu dengan pemilihan komoditas yang sesuai disertai pengelolaan tanah dan air yang tepat, merupakan pendekatan terbaik untuk peningkatan produktivitas lahan marjinal.

    Sedangkan Nilai Berita yang terkandung dalam artikel diatas adalah :
    • Timelines : Berita dan juga topik yang diangkat adalah suatu hal baru, yaitu pengoptimalan sistem usaha tani dalam lahan marijinal , yang jarang orang ketahui bagaimana pengelolaannya.
    • Prominence : Terdapat tokoh yang berperan penting disini, yaitu penyuluh pertanian PNS dsri Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) sebagai sosok yang berperan banyak dalam memberi pengetahuan.
    • Importance : Sistem Usahatani Terpadu belum banyak diaplikasikan oleh para petani di Indonesia, sehingga hasil panen atau produktivitas komoditas pertanian juga tidak terlalu tinggi. Dengan begitu, pengetahuan dan wawasan serta keterampilan mengenai Sistem Usahatani Terpadu dirasa sangat penting bagi petani-petani di Indonesia yang belum banyak mengerti mengenai hal tersebut. Sehingga diharapkan produktivitas hasil pertanian Indonesia bisa semakin meningkat.
    • Policy : Artikel diatas juga membahas mengenai kebijakan peraturan pemerintah (PP No.43/2009) mengenai pembiayaan, pembinaan dan pengawasan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan.
    • Consequence : Hasil akhir dari diterapkannya sistem usahatani terpadu ini sangat banyak, salah satu hal yang menonjol adalah yaitu peningkatan produktivitas pertanian pada lahan marjinal di Indonesia.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alat peraga poster Hidroponik

ALAT PERAGA "FOLDER" KELOMPOK 1

FOLDER SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO (Kelompok 2)